05 December 2014 |
0
komentar
Seringkali yang terjadi dalam kasus kekerasan seksual pada perempuan seperti halnya perkosaan, dipandang sebagai isu "seks" daripada "kekerasan" itu sendiri.Sementara isu "seks" itu sendiri sebegitu tabu dibicarakan dan kalau bisa itu terjadi secara instingtif saja kalau sudah disetujui oleh segala jenis instruksi sosial yang harus dijalani dan disaksikan keabsahannya di mata orang lain terlebih dahulu. Jangan heran kenapa siswa yang diperkosa kemudian dikeluarkan dari sekolah, kenapa perempuan yang setelah diketahui diperkosa dikucilkan/kalau bisa diusir dari suatu komunitas, dan yang paling parah dinikahi oleh sang pelaku agar terkesan menjadi suci dan tak tertempel aib. Persoalannya tak senaif itu, yang jadi persoalan adalah bukan menyucikan lembaran selaput, namun bagaimana mengembalikan eksistensi dan harga diri yang terenggut, bagaiamana mengembalikan sesuatu yang kasat mata dari dalam diri manusia?.
Perkosaan pun tak hanya bahwa ia diserang secara fisik, bagaimana dengan instruksi melayani dari sang raja,sang atasan, sang "pemilik", apakah itu bukan pemerkosaan ? Bagaimana bila itu tak hanya terjadi antara perempuan dan laki-laki, anak-anak dan orangdewasa, akan tapi perempuan-perempuan, laki-laki dan laki-laki ? Kasus incest biasanya tak pernah selesai, hanya menjadi narasi keluarga yang disimpan.Nyatanya, kekerasan seksual bukan hanya perkara paksaan secara langsung, suka sama suka, akan tetapi ada juga hubungan relasi atas kuasa, apalagi coba dihalalkan dengan berbagai status kuasa dan cara.
Seorang anak sebegitu kagetnya melihat kelamin bapaknya saat sedang pipis di toilet, anak itu berkomentar "kok mirip punya si anu....(yang dimaksud adalah pak sopirnya)". Sang Bapak tentu saja balik kaget darimana anaknya mengetahui itu, dan ternyata anak itu sering diajak main "lolipop" oleh sang sopir.
Sehabis mendengar cerita ituyang dibacakan oleh narasumber, yang terlintas di pikiranku adalah kapan anak itu mulai menyadarinya? Kasus-kasus kekerasan seksual yang makin marak terjadi, salah satunya sodomi, bagaimana dampak psikologis antar generasi terjadi ?
Seorangwaria melaporkan diri telah diperkosa. Yang terjadi waria ini ditertawakan, dan malah diperkosa lagi.
Definisi perkosaan tidak melindungi kaum homoseksual, karena didefinisikan antara laki-laki dan perempuan.
Seorang psk melaporkan dirinya diperkosa, namun justru ia ditanya balik dengan nada melecehkan bahwa bukankah itu sudah menjadi pekerjaannya?
Realita kekerasan seksual pada PSK, korban hasil pemerkosaan menjadi korban kesekian kalinya.
Dulu ada seorang anak remaja perempuan cerdas melarikan diri ke puskesmas setelah diperkosa, ia minta dilakukan visum dan kemudian mengajukannya ke pengadilan, namun pengadilan menolak karena hasil visum itu dari puskesmas bukan rumah sakit atau dokter forensik. Informasi tambahan, anak remaja perempun itu tinggal di daerah pedalaman bagian timur Indoensia yang mana hanya memiliki rumah sakit di kota. Sementara untuk menjaga bukti visum setelah perkosaan adalah dalam kurun waktu kurang lebih 2 jam.
Perlu disoroti mengenai kebijakan bias gender dan bagaimana memulai sistem pelaporan dalam tiap level. Dalam brosur KOMNAS Perempuan ada langkah-langkah cara melakukan pelaporan bila ada kekerasan seksual, kuyakin ada juga di dalam websitenya.
Saking ditabukannya hal-hal berbau seksualitas, mungkin masih ada yang tidak mengerti efek dari kejadian seksual paksaan semacam itu pada dirinya. Apa yang harus dilakukan saat menghadapi hal seperti itu, apa yang harus dilakukan ketika ada kejadian ini di hadapan? Menutup mata karena malu? Menutupi saja, nikahi saja pelakunya, dan perkara selesai. Pernahkah terbayangkan akan terulang dalam pernikahan dengan intensitas yang mungkin lebih keras?
Sehingga niat baik agar tetap menjadi "wanita baik-baik dan suci" menjadi senjata makan tuan saking lugunya sang pemilik tubuh, kalau tidak mau dikatakan bodoh. Tunggu dulu, apakah perempuan memiliki kesadaran bahwa tubuh ini miliknya? Sehingga kesehatan dan kesadaran akan kepemilikan tubuh ini menjadi tanggung jawabnya? Atau tubuh itu sudah berganti kepemilikan dan dipergunakan semena-mena oleh instruksi sosial untuk "melayani" dalam rangka menjadi "apa-apa yang baik-baik" itu? Dan ketidaktahuaan dan anti keterbukaan yang dipelihara itu menjadi potensi munculnya ketidakadilan dan ketidaksetaraan.
Perspektif perempuan sebagai objek. Tidak ada kesadaran rasional maupun emosional dari kedua belah pihak. Sama-sama tidak tahu apakah baik?.
Dalam hukum pun, belum sepenuhnya terlindungi melalui definisi-definisi yang teramat normatif. Namun sudah ada pergerakan menuju kebijakan-kebijakan yang pro-gender. PP no.61/2014 tentang korban perkosaan boleh aborsi. Namun pelaksanaannya pun masih rancu. Definisi pelecehan seksua lbelum memiliki batasan. Bagaimana dengan pelecehan yang terjadi di luar tubuh wanita?. Apakah definisi perkosaan menjadi kasuistis?
Kejahatan perkosaan terus meningkat. Kekerasan / pelecehan seksual atas penyalahgunaan kekuasaan mulai marak terungkap. Perspektif kekerasan seksual harus terus dikaji. Hukum mulai berbenah. Peninjauan ulang visum et repertum, harus dr. Forensik dan di rumah sakit, bagaimana dengan orang yang tinggal di daerah terpencil seperti contoh anak remaja cerdas di atas ?
Sekarang di era kontemporer berkembang Stand Point of Epistemologist. Berangkat dari sebuah posisi. Abad 21 membutuhkan teori dan alat yang baru dalam membahas sebuah fenomena. Definisi perlu dibuat dari berbagai multidisiplin ilmu.
Perkosaan pun tak hanya bahwa ia diserang secara fisik, bagaimana dengan instruksi melayani dari sang raja,sang atasan, sang "pemilik", apakah itu bukan pemerkosaan ? Bagaimana bila itu tak hanya terjadi antara perempuan dan laki-laki, anak-anak dan orangdewasa, akan tapi perempuan-perempuan, laki-laki dan laki-laki ? Kasus incest biasanya tak pernah selesai, hanya menjadi narasi keluarga yang disimpan.Nyatanya, kekerasan seksual bukan hanya perkara paksaan secara langsung, suka sama suka, akan tetapi ada juga hubungan relasi atas kuasa, apalagi coba dihalalkan dengan berbagai status kuasa dan cara.
Seorang anak sebegitu kagetnya melihat kelamin bapaknya saat sedang pipis di toilet, anak itu berkomentar "kok mirip punya si anu....(yang dimaksud adalah pak sopirnya)". Sang Bapak tentu saja balik kaget darimana anaknya mengetahui itu, dan ternyata anak itu sering diajak main "lolipop" oleh sang sopir.
Sehabis mendengar cerita ituyang dibacakan oleh narasumber, yang terlintas di pikiranku adalah kapan anak itu mulai menyadarinya? Kasus-kasus kekerasan seksual yang makin marak terjadi, salah satunya sodomi, bagaimana dampak psikologis antar generasi terjadi ?
Seorangwaria melaporkan diri telah diperkosa. Yang terjadi waria ini ditertawakan, dan malah diperkosa lagi.
Definisi perkosaan tidak melindungi kaum homoseksual, karena didefinisikan antara laki-laki dan perempuan.
Seorang psk melaporkan dirinya diperkosa, namun justru ia ditanya balik dengan nada melecehkan bahwa bukankah itu sudah menjadi pekerjaannya?
Realita kekerasan seksual pada PSK, korban hasil pemerkosaan menjadi korban kesekian kalinya.
Dulu ada seorang anak remaja perempuan cerdas melarikan diri ke puskesmas setelah diperkosa, ia minta dilakukan visum dan kemudian mengajukannya ke pengadilan, namun pengadilan menolak karena hasil visum itu dari puskesmas bukan rumah sakit atau dokter forensik. Informasi tambahan, anak remaja perempun itu tinggal di daerah pedalaman bagian timur Indoensia yang mana hanya memiliki rumah sakit di kota. Sementara untuk menjaga bukti visum setelah perkosaan adalah dalam kurun waktu kurang lebih 2 jam.
Perlu disoroti mengenai kebijakan bias gender dan bagaimana memulai sistem pelaporan dalam tiap level. Dalam brosur KOMNAS Perempuan ada langkah-langkah cara melakukan pelaporan bila ada kekerasan seksual, kuyakin ada juga di dalam websitenya.
Saking ditabukannya hal-hal berbau seksualitas, mungkin masih ada yang tidak mengerti efek dari kejadian seksual paksaan semacam itu pada dirinya. Apa yang harus dilakukan saat menghadapi hal seperti itu, apa yang harus dilakukan ketika ada kejadian ini di hadapan? Menutup mata karena malu? Menutupi saja, nikahi saja pelakunya, dan perkara selesai. Pernahkah terbayangkan akan terulang dalam pernikahan dengan intensitas yang mungkin lebih keras?
Sehingga niat baik agar tetap menjadi "wanita baik-baik dan suci" menjadi senjata makan tuan saking lugunya sang pemilik tubuh, kalau tidak mau dikatakan bodoh. Tunggu dulu, apakah perempuan memiliki kesadaran bahwa tubuh ini miliknya? Sehingga kesehatan dan kesadaran akan kepemilikan tubuh ini menjadi tanggung jawabnya? Atau tubuh itu sudah berganti kepemilikan dan dipergunakan semena-mena oleh instruksi sosial untuk "melayani" dalam rangka menjadi "apa-apa yang baik-baik" itu? Dan ketidaktahuaan dan anti keterbukaan yang dipelihara itu menjadi potensi munculnya ketidakadilan dan ketidaksetaraan.
Perspektif perempuan sebagai objek. Tidak ada kesadaran rasional maupun emosional dari kedua belah pihak. Sama-sama tidak tahu apakah baik?.
Dalam hukum pun, belum sepenuhnya terlindungi melalui definisi-definisi yang teramat normatif. Namun sudah ada pergerakan menuju kebijakan-kebijakan yang pro-gender. PP no.61/2014 tentang korban perkosaan boleh aborsi. Namun pelaksanaannya pun masih rancu. Definisi pelecehan seksua lbelum memiliki batasan. Bagaimana dengan pelecehan yang terjadi di luar tubuh wanita?. Apakah definisi perkosaan menjadi kasuistis?
Kejahatan perkosaan terus meningkat. Kekerasan / pelecehan seksual atas penyalahgunaan kekuasaan mulai marak terungkap. Perspektif kekerasan seksual harus terus dikaji. Hukum mulai berbenah. Peninjauan ulang visum et repertum, harus dr. Forensik dan di rumah sakit, bagaimana dengan orang yang tinggal di daerah terpencil seperti contoh anak remaja cerdas di atas ?
Sekarang di era kontemporer berkembang Stand Point of Epistemologist. Berangkat dari sebuah posisi. Abad 21 membutuhkan teori dan alat yang baru dalam membahas sebuah fenomena. Definisi perlu dibuat dari berbagai multidisiplin ilmu.
Dan ingatlah,
TIDAK AMANNYA KEKERASAN SEKSUAL SAMA DENGAN TIDAK AMANNYA KEBEBASAN BERPIKIR KITA.
Diulas dari hasil
Seminar Kekerasan Seksual: "Membongkar Mitos, MenyuguhkanRealita"
Dr. Livia Iskandar Dharmawan,Psi., M.S.
Dr. Gadis Arivia Effendi, S.S.
Prof. DR. Dr. Agus Purwadianto,S.H., M.SI., Sp.F(K)
Dr. Elfina L. Sahetapy, S.H.,LL.M
0 komentar:
Post a Comment