Refleksi (2)

KEKERASAN SEKSUAL PADA PEREMPUAN


Saya menghadiri seminar mengenai kekerasan seksual pada perempuan dan mencatat beberapa hal yang menarik perhatian dengan bantuan tangan. Hari ini saya menulis ringkasan dan ulasan mengenai seminar itu dengan bantuan teknologi.


Untuk apa tulisan ini?

Tulisan ini berisi ide dan materi dari narasumber, bukan ide asli dari saya. Tujuan penulisan ini adalah untuk membagi pengetahuan dan pengalaman narasumber kepada perempuan lainnya secara khusus, dan yang tertarik dengan isu perempuan pada umumnya.Selain dari janji untuk melatih menulis, saya ingin memulai berjuang dengan cara yang paling saya mampu dalam kondisi sekarang. Saya tertarik dengan isu perempuan sejak lama, namun tidak pernah mengakuinya karena malu rasanya mengakui hal itu sementara apa yang telah kulakukan terhadap isu itu. Saya hanyalah pembaca dan pengamat pasif mengenai artikel atau buku tentang isu perempuan ataupun yang ditulis oleh perempuan yang sedang berjuang terhadap banyak variasi isu perempuan. Saya menonton sebuah film mengenai HIV/AIDS pada kaum homoseksual. Setelah menonton film itu, saya memertanyakan diri sendiri, apa yang akan saya perjuangkan dalam hidup. Saya ingat di masa kecil, sewaktu memerjuangkan eksistensi "perempuan" dalam diri saya sendiri dengan melihat begitu jelasnya perbedaan perlakuan gara-gara sebuah organ kelamin di dalam sebuah cerita dibuku harian sederhana. Saya menuangkan muntahan yang menurut saya versi kecil tidak adil terhadap “anak” perempuan. Dari pengalaman itu saya meyakini perempuan harus memeroleh pendidikan agar dapat membaca dan memahami kembali "instruksi sosial" yang melekat begitu saja pada dirinya, begitu pun yang ada dalam teks-teks keagamaan yang disampaikan oleh lelaki dalam budaya patriarkhi untuk tujuan dominasi domestik maupun politik tanpa adanya pertanggung jawabann rasional atas nilai-nilai yang diinstruksikan tersebut.



Apakah seksualitas memang sebaiknya ditabukan dan disimpan dalam-dalam?. Namun hingga saat ini saya memahami bahwa seberapa pun intensi baik itu ingin diwujudkan dalamperilaku yang diinginkan, "maineffect and side effect" akan ada. Sehingga saya tidak terkejut lagi dengan ungkapan "sebenarnya saya sebagai perempuan merasa baik-baik saja".




Seminar Kekerasan Seksual: "Membongkar Mitos,Menyuguhkan Realita"

Dr. Livia Iskandar Dharmawan, Psi., M.S.

Dr. Gadis Arivia Effendi, S.S.

Prof. DR. Dr. Agus Purwadianto, S.H., M.SI., Sp.F(K)

Dr. Elfina L. Sahetapy, S.H., LL.M



Seminar Nasional: "Kekerasan Seksual Dalam Konsep Pluralitas Di Negara Indonesia"

K.H. Husein Muhammad

Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono, S.S., M.A.

Dra. Sinta Nuriyah A. Wahid, M.Hum

Dr. Seno Gumira Ajidarma, S.Sn., M.Hum



Berikut ringkasan dari dua seminar yang saya hadiri. Saya tidak menuliskan semuanya dalam satu catatan, akan tetapi akan menjadi catatan bersambung. Saya mencoba mengulas kembali dengan masih menggunakan “bahasa” asli dari narasumber atapun versi yang saya tulis kembali.


Dalam tulisan K.H.Husein Muhammad, kita dapat melihat data statistik yang diperoleh dari (Catahu tahun 2013, Komnas Perempuan) kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan dari tahun 2001 sejumlah 3.169 kasus hingga tahun 2013 terdapat279.688 kasus, dan pada tahun 2012 tercatat 4.336 kasus kekerasan seksual,2.920 diantaranya terjadi di ruang publik/komunitas. Korban meliputi semua umur dari balita hingga manula. Data ini hanyalah data yang tercatat dan dilaporkanke Lembaga Negara dan Sosial. Kekerasan terhadap perempuan didefinisikan sebagai: “Setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik,seksual atau psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan, atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi”. (Deklarasi PenghapusanKekerasan terhadap Perempuan, Ps.1). Komnas Perempuan menemukan minimal 15 bentuk kekerasan seksual yaitu Perkosaan, Ancaman Perkosaan, Pelecahan,Pemaksaan perkawinan, Pemaksaan aborsi, Marital rape, Prostitusi paksa, Kontrol atas tubuh antara lain melalui kebijakan publik atas nama moralitas dan agama,dan lain-lain. Pengungkapan kasus kekerasan seksual dirasa rumit karena terkait dengan tradisi dan budaya atau pandangan keagamaan masyarakat yang menabukan bicara seks di depan orang lain, yang justru melipatgandakan penderitaan korbandan keluarganya.


Dalam tulisannya ini, K.H. Husein Muhammad juga memertanyakan akar masalah terjadinya kekerasan seksual pada perempuan. Beberapa asumsi yang berkembang di publik mengarahkan kesalahan pada perempuan karena memertontonkan bagian terlarang (aurat) didepan publik. Namun pada kenyataannya asumsi ini dapat langsung terbantah karena ada kasus perempuan berjilbab dan berpakaian sopan diperkosa di sebuah perguruan tinggi. Hal ini mengusik logika berpikir yang bersih dan kritis,bagaimana mungkin seseorang yang tidak melakukan tindakan kejahatan dan hanya karena pakaian yang dipilihnya dinyatakan bersalah dan berhak dilecehkan dan diperkosa?


Ada juga pandangan lain yang berasumsi menyalahkan pelaku karena permasalahan moralitas atauagamanya. Namun pada kenyataannya, tidak sedikit pelaku tersebut adalah orang yang di dalam status sosialnya memiliki jabatan dan gelar “terhormat” di matapublik. Pertanyaan kritisnya adalah bagaimana mengidentifikasi moral baik-buruk seseorang sebelum ia melakukan suatu tindakan? Sehingga argumen moralitas atau agama dapat digugurkan.


Adanya kekerasan seksual pada perempuan kemungkinan berakar lebih pada adanya ketimpangan relasikuasa yang berbasis gender, yaitu sistem sosial-budaya patriarkhi yang melegitimasi laki-laki sebagai pemegang otoritas dan superioritas. Dunia dibangun dengan cara berpikir untuk kepentingan laki-laki dan keyakinan bahwa pada kodratnya perempuan adalah makhluk yang lembut dan lemah. Ideologi yang bias gender dan patriakis ini memengaruhi cara berpikir masyarakat, memengaruhi penafsiran atas teks-teks agama dan kebijakan-kebijakan negara. Ketimpangan ini memiliki potensi menciptakan ketidakadilan dan dominasi, yang nantinya menjadi sumber tindak kekerasan pada perempuan.


Yang terjadi seringkali teks-teks agama yang partikular digunakan dalam konteks universal. Pada dasarnya dalam penafsiran ayat-ayat ada yang partikular dan ada yang universal. Seringkali mereka dipertentangkan satu sama lain, atau digunakan secara sepihak untuk pembenaran. Aturan-aturan partikular dianggap demikian karena aturan tersebut lebih diterima sebagai solusi yang bersifat ketuhanan atas problem partikular yang ada dalam kondisi tertentu. Sehingga K.H. Husein Muhammad menekankan lagi pada paragraf terakhirnya bahwa dengan berubahnya kondisi, aturan-aturan hukum yang bersifat khusus, tersebut bisa saja gagal memenuhi tujuan moralnya dan karena itu harus ditinjau ulang, direvisi atau dicabut sama sekali. Tulisan Beliau ditutup dengan satu paragraf dengan sub-judul “Kembali ke Konstitusi” di mana Pancasila dan UUD 1945 menjadi titik temu paling ideal dari berbagai aspirasi dan kehendak-kehendak beragam para penganut agam dan kepercayaan di manapun mereka berada di bumi nusantara ini.







0 komentar:

Background

Powered By Blogger

Siapa Aku

My photo
Tanjung Duren, Jakarta, Indonesia
Kata Agama, Aku dari Tanah. Kata Otak, Aku sekumpulan sirkuit saraf. Kata huruf aku ANY. Kata Hati, Aku berjiwa, jiwa manusia, selayak-layaknya keberadaan manusia di muka bumi.