Pengalaman Spiritual Bagian I





Satu hal yang saya akui adalah agama ini diberi dan diturunkan dari orang tua. Saya tidak diminta mencari, mempelajari dan memilih agama. Lagipula, sampai sekarang saya belum pernah mendengar ada pilihan seperti itu dari orang tua pada anaknya. Bila pun ada, entah apa tanggapan orang-orang di sekitarnya (dan siapa tahu pendapat Tuhan sendiri). Yang pernah saya tahu, bila seorang anak tidak menjalankan ibadah murni dari agamanya, maka orang tuanya dianggap tidak becus mengajari anaknya di suatu waktu dan tempat. Tanggung jawab agama anak ada pada orang tua.

Di suatu masa kehidupan awal, di masa-masa kecil, saya memahami dan mempelajari agama dari apa yang saya dengar. Dari mereka-meraka (dengan sebutan baik yang bermacam-macam) sambil saya diajari menulis dan membaca Al-Quran dengan hukum-hukum bacaannya (mungkinkah bisa saya artikan seperti pelafalan, intonasi, dll, misal apabila huruf mati ini bertemu dengan huruf itu, maka cara membacanya ditekan, dipanjangkan, didengungkan, dan lain-lain). Di masa ini sambil mendengar mengenai konsep islam, dosa-pahala, akhlak baik-buruk, surga-neraka, Tuhan-Malaikat-Manusia-Setan-Jin, Kisah-kisah para nabi. Saya juga (diminta.dituntut.disuruh) membaca Al-quran dan menghafal surah-surah pendeknya. Saya juga diajari salat dan bacaan-bacaaanya. Semua dalam bahasa Arab. Dan saya tidak dikursuskan bahasa Arab, apalagi bahasa arabnya Al-Quran. Saya dapat melafalkan Al-quran dengan hukum bacaannya, namun saya tak mengerti apa isi Al-Quran, apa yang disampaikan Al-quran, dan apa isi bacaan-bacaan salat itu. Yang saya terima adalah bahwa apa yang saya dengar dari (orang-orang dengan sebutan baik yang bermacam-macam itu) adalah mutlak dan pasti benar. Proses seperti ini berjalan hingga saya masuk ke masa (yang saya sebut masa pemberontakan).

Sewaktu itu, salah satu orang tua menegur saya dengan bacaan-bacaan dari luar (sudah diterjemahkan dari bahasa Inggris menjadi Bahasa Indonesia). Saya juga salah satu murid yang beruntung karena mendapat teman yang pandai dengan teknologi, sehingga saya mengenal yang namanya komputer dan internet di kota yang mana masih jarang orang menganggap positif kehadiran internet. Saya jadi maniak membaca buku-buku yang dilarang oleh salah satu orang tua saya. Dari situlah proses yang ada di awal kehidupan saya berubah, dari melafalkan Al-Quran setiap harinya, menjadi hanya membaca terjemahan (arti) ayat-ayat Al-quran itu dalam Bahasa Indonesianya (waktu itu masih tanpa tafsir). Lama-kelamaan, salah satu orang tua bertanya kenapa saya tidak pernah terdengar melafalkan Al-Quran lagi. Saya jawab saya membaca Al-Quran, tapi bukan arabnya melainkan bahasa Indonesianya. Kitab tebal terjemahan Al-Quran itu katanya dari kakek saya. Namun dari berbagai sudut, telinga saya terngiang-ngiang bahwa yang saya lakukan itu tidak tepat, tidak benar, tidak ada pahalanya. Belum lagi, saat seseorang “berceramah.menceramahi.” saya menjawab dengan pertanyaan “kenapa seperti itu. Kenapa dosa. Kenapa harus. Kenapa kenapa kenapa.” Dengan begitu saja saya memperoleh predikat sebagai “pembangkang” atau bahasa yang lebih tersirat “golongan orang-orang yang sedang tersesat”. Suatu saat pernah saya menjawab tapi di surah ini mengatakan….”…..” (yang masih belum saya tahu bahwa kandungan dari ayat-ayat Al-Quran tentang satu hal kemungkinan akan muncul dengan penambahan makna baru di surah lainnya). Yang saya mengerti tentang isi Al-quran yang ada bahasa Indonesianya saat itu adalah Kenapa acak dan meloncat-loncat, dan ternyata Tuhan tidak semengerikan dan hanya menakuti-nakuti manusia dengan dosa dan neraka yang dibuat-Nya, juga ada kisah kehidupan (sosial, akhlak, ekonomi) di masa lalu.

Kemudian masuk ke dalam masa kehidupan selanjutnya. Saya yang masih lemah dan kurang pengetahuan memahami Al-Quran yang bertumpu pada seluas pengetahuan yang saya punya dan sendiri. Alhasil, seringkali terjebak (seperti orang-orang) yang memahami Al-Quran hanya untuk mencari kebenaran atas apa yang ada, terjadi, dan diinginkan diri sendiri. Membenarkan suatu kondisi dengan menegakkan ayat-ayat di dalam satu surah, dan membutai diri dengan surah lainnya (atau sudah sangat bangga mengetahui dan memahami salah satu/ bagian-bagian kecil dari Al-Quran itu sendiri). Derajat saya naik kelas, dari “pembangkang” menjadi “kafir”. Saya berada dalam kondisi yang tidak seimbang. Lingkungan menuntut kemutlakan dan kebenaran yang pasti tanpa harus dipertanyakan (bukan untuk mengkritisi tapi hanya ingin tahu alasan, itu pun tak memuaskan hati). Sementara rasionalitas (seluas pengetahuan saat itu), agama menjadi begitu sulit dan rumit diterima. Melihat ketidakadilan yang terjadi di sekitar mengatasnamakan agama. Kekerasan dan pelabelan yang mengatasnamakan agama. Dan agama menjadi sangat tidak ramah dengan orang-orang dari golongan tersesat sepertiku. Tuhan diubah menjadi simbol, dibuat seperti manusia, dimiliki oleh orang-orang tertentu saja, ada di tempat tertentu saja, berpihak sebelah. Tuhan yang disampaikan melalui agama itu menjadi sebegitu jauh, abstrak, dan tak berbelas kasih, bahkan perintahnya bercampur aduk dengan budaya (di masa di mana Al-Quran ditulis). Masa di mana imanku bukan iman agama, namun mengandalkan hati nurani dan rasa kemanusiaan. Aku melakukan ini bukan untuk mendapat pahala dan surga atau menghindari dosa dan neraka, tapi karena melakukan ini tidak menyakiti orang lain dan hatiku merasa ini benar. Aku menjadi manusia, tapi golongan pendosa/kafir, kurasa.

Tahap selanjutnya, di masa berikutnya, Subuh hari menunggu imsak di Bulan Ramadhan. Hampir semua channel dipenuhi mereka-meraka yang berteriak-teriak dan penuh percaya diri menyampaikan topik agama, dan satu channel di mana sang pembicara bertutur bahasa santun tanpa berteriak, bukan menceramahi dan menganggap umat adalah orang awam yang tak tahu apa-apa. Namun sang pembicara ini adalah seorang ahli tafsir. Ia membagi ilmu tafsir Al-Quran. Satu surah dibahas selama satu bulan Ramadhan, ayat per ayat dilafalkan dan diterjemahkan artinya dalam Bahasa Indonesia, kemudian menyampaikan tafsir, dan kesimpulan. Saat rutin kuikuti, banyak hal yang kurang pada diriku, yang salah kulakukan, dan bodoh yang tak berkesudahan. Dalam memahami Al-Quran, seseorang perlu tafsir. Tak semua orang mampu/boleh melakukan tafsir Al-quran. Ada syarat (terutama pengetahuan agama yang mendalam), dan tafsir pun dilakukan dengan berbagai pilihan metodologi tafsir. Bukan tafsir oleh fantasi dan olahan kebenaran sang penceramah. Tafsir ada banyak dan luas, tentu saja, siapa yang berani memutlakkan suatu pengertian yang berasal dari Tuhan, kecuali ia merasa berkuasa dan yang membuat Al-Quran itu sendiri (penyimpangan yang banyak juga terjadi). Namun, perlu juga memilih tafsir yang mufasirnya berkompeten dan menggunakan metodologi yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan moral.

Islam kontekstual banyak didengungkan oleh orang-orang. Namun islam kontekstual itu bagaimana diterapkan dalam kehidupan? Berdasarkan apa dan mengapa?


“bila manusia ingin mengenal Tuhan-nya, bila ingin Tuhan berbicara padanya, bacalah Kitabnya. Bila ingin berbicara pada Tuhan, berdoalah.”

Salah satu tafsir dari salah satu ayat.

Banyak hal yang ujung-ujungnya kembali pada wahyu pertama Tuhan pada Muhammad yaitu “Iqra”….”bacalah”.

Tak salah mendengar, namun hanya mendengar saja baru akan melihat satu sisi. Dengan membaca ada banyak sisi yang muncul.

Agama ini terberi dari orang tua, memang bukan pilihan. Dan menjadi salah satu identitias diri. Bukan hanya mencari-cari kelemahannya karena ketidaktahuan. Akan tetapi, berkenalan dan mempelajarinya, adalah pilihan yang dibuat dan diputuskan oleh diri sendiri dan lebih bijaksana. Menilai salah dan kurang pada sesuatu yang tak dikenali dan diketahui bukanlah tindakan bijaksana.

Sewaktu menuliskan ini, saya belum menjadi manusia benar yang diinginkan oleh tuntutan Al-Quran he he he. Banyak sekali ibadah murni yang masih diabaikan, kecerobohan, kekurangan sebagai manusia. Intinya saya masih nakal. Sambil saya masih nakal, ya saya baca-baca dan mempelajari. Jadi bila saya mendengar, saya tahu itu ada, dan bila itu belum saya ketahui bisa saya cari dan menambah pengetahuan lagi. Penting juga supaya saya tidak buta-buta amat dan dibutakan oleh oknum ha ha ha ha…..~~~~

Ini pengalaman spiritual. Tak semua orang mengalami hal yang sama. Dan tak menjadi benar di pengalaman orang lain, walaupun benar adanya di pengalaman saya. LOL

Hampir dua tahun blog saya tinggalkan. Sudah lama tak menulis uneg-uneg hati. Kebetulan lagi merayakan malam dengan kopi dan manis-manis.



Label:

Background

Powered By Blogger

Siapa Aku

My photo
Tanjung Duren, Jakarta, Indonesia
Kata Agama, Aku dari Tanah. Kata Otak, Aku sekumpulan sirkuit saraf. Kata huruf aku ANY. Kata Hati, Aku berjiwa, jiwa manusia, selayak-layaknya keberadaan manusia di muka bumi.