Refleksi (1)

Kita sekarang ini sedang ditantang oleh sesuatu yang sebagian dari mereka dibuat frustasi olehnya, yaitu "pergerakan peradaban". Yang ditantang adalah kemampuan nalar yang tak hanya pada hal-hal inderawi, akan tetapi melampaui/ di atas Inderawi. Salah satu bentuknya adalah "keyakinan". Konstruksi sosial (yang kuedit menjadi frase "Instruksi Sosial" dalam pikiran dan ucapanku) yang sudah begitu merasuk dan diturunkan dari generasi ke generasi tanpa mewadahi pemikiran kritis dalam prosesnya yang terbentuk dalam sikap mental individu sedang ditantang eksistensi dan esensinya dalam kehidupan individu. Fenomena "Jokowi & Ahok" salah satu bagian kecil dalam kisah "pergerakan" ini. Lihatlah betapa konstruksi sosial terputar balikkan oleh kebutuhan untuk berubah dan kebutuhan untuk "menalar".

Individu yang menangkap unsur modernitas hanya pada bagian "konsumerisme" saja tanpa adanya perombakan sikap mental dan ketajaman penalaran merasa "nihil" dan selalu tak terpuaskan, sebagian sadar bahwa mereka diombang-ambing oleh zaman, namun tak berdaya menentukan sikapnya.

Sebagian lain menangkap modernitas dalam bentuk kemajuan pengetahuan dan teknologi mengenai diri mereka sendiri dan ruang di mana mereka berada. Ketajaman intuisi intelektual, kalau boleh meminjam istilah Kant.

Sisanya berada dalam euforia dan masa kejayaan yang ada dalam benak dan angan-angan turun-temurun yang tak pernah terverifikasi dan terfalsifikasi, mereka yakin dan menutup rangsang inderawi karena merasa terancam. Merasa berusaha mempertahankan "angan-angan" indah yang muncul dalam bentuk perilaku destruktif karena terpojok oleh kekuasaan, kekuatan dan ketidakberdayaan. mereka memertahankan "instruksi sosial" tanpa pernah menguji kelayakannya.

Sebenarnya mereka itu tak usah khawatir dan melakukan perjuangan yang tak logis dan merusak hati nurani sendiri dalam ruang dan waktu yang terus bergerak ini. Karena masih ada orang yang berkeyakinan dalam peradaban, tanpa menolak yang kasat mata. Masih ada orang yang berkeyakinan mampu beradaptasi dengan modernitas. Mereka sedang menguji nalar dan keyakinan dalam peradaban, dalam ruang dan waktu mereka mendapatkan eksistensi. Mereka mencari esensinya.
Bukanlah ideologi/agama/kepercayaan yang "khawatir" akan kehilangan eksistensinya, akan tetapi manusianya.

Akibat dari terakumulasinya berbagai berita berunsur politik dan keagamaan di media dan 126 halaman yang terbaca dan sisanya belum semua selesai dibaca dari buku Menalar Tuhan. Berhenti sejenak membaca, menulis kecamuk di pikiran, dan hati berefleksi.

0 komentar:

Background

Powered By Blogger

Siapa Aku

My photo
Tanjung Duren, Jakarta, Indonesia
Kata Agama, Aku dari Tanah. Kata Otak, Aku sekumpulan sirkuit saraf. Kata huruf aku ANY. Kata Hati, Aku berjiwa, jiwa manusia, selayak-layaknya keberadaan manusia di muka bumi.