09 July 2010 |
0
komentar
Speech is Silver, Silence is GOLDEN
“Alam memberi kita satu lidah, akan tetapi memberi kita dua telinga, agar kita dua kali lebih banyak mendengar daripada berbicara”. (La Rouchefoucauld)
Saya tahu bahwa Mendengar itu adalah kewajiban dan skill yang harus dipunyai oleh seorang psikolog. Bukan sekedar mendengar, tetapi active listening adalah langkah pertama untuk menjadi konselor yang sukses. Menurut saya, semua orang pandai berbicara tetapi sedikit yang pandai mendengar, dan menjadi pendengar yang aktif adalah kegagalan yang sering dilakukan oleh seseorang ketika bermaksud membantu orang lain. Tantangan pertama bagi calon konselor pemula. Tantangan lain bagi saya yang menyandang calon sarjana psikologi adalah labelling sebagai wadah curahan hati yang siap siaga menjadi tempat muntahan keluh kesah orang-orang dekat saya, terutama anak-anak kos. Terkadang dalam diri saya merasa bahwa mereka lupa dengan siapa mereka berbicara dan kapan waktu yang tepat untuk mengajak orang lain berbicara. Saya pikir, setiap orang ingin menjadi orang baik dan membantu orang yang dalam kesulitan, tapi berhati-hatilah! Your Kindness Can Be Your Weakness, jebakan yang sering saya rasakan akibat altruisme yang berlebihan. Akan tetapi suatu hari, saya mengalami fenomena yang mengejutkan bahkan terlintas dalam benak saya, tak selamanya seorang psikolog hebat itu adalah speakolog yang handal.
Tengah malam itu, saya menghadapi layar laptop dengan wajah murung. Wajah itu adalah wajah yang biasanya terlihat saat sang empunya laptop merasakan tugas yang saling berkonflik ditambah rasa kantuk yang tak tertahankan. Sesekali saya mencoba membuka facebook yang katanya kadang bisa jadi pelipur lara, tapi entah saya yang terlalu serius menjadi manusia atau memang facebook adalah salah satu situs keluh terbesar di Indonesia sekarang. Makin buruklah mood saya melihat keluhan-keluhan yang tidak pantas dikeluhkan bertaburan di situs itu. Dengan memaksakan untuk fokus, saya kembali untuk menyelesaikan kewajiban seorang mahasiswa itu. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar kos saya. Saat membukanya, sebuah ukiran senyum manis menyambut saya, dan dengan sedikit berbasa-basi dari tamu yang adalah teman saya itu, akhirnya saya mempersilakannya untuk masuk. Karena ada stimulus yang dipersepsi, maka munculah prasangka saya yang menjadi suatu kenyataan bahwa teman kos ini ingin curhat. Dia berkata bahwa seharian ini ia merasa feeling blue akibat ditinggal oleh pacarnya ke sebuah pulau terpencil di mana tidak akan ada sinyal telpon yang bisa masuk. Dan ia harus menunggu pacarnya itu pulang selama satu tahun. Pada mulanya saya tertarik dengan pembicaraannya, sedikit demi sedikit saya memberikan respon dan feedback dari percakapan kami. Tapi lama kelamaan, saya mulai menjadi bosan karena sebenarnya hal ini adalah masalah yang berulang-ulang dia ceritakan dan rasa ngantuk saya mulai menyerang.
Akhirnya satu detik kemudian pikiran saya kosong, namun saya tetap memposisikan mata saya ke wajahnya dan memasang raut wajah yang serius. Padahal saat itu otak kiri saya sedang mencari inspirasi tugas-tugas saya yang masih terkapar di dalam laptop dan otak kanan sedang menahan rasa ngantuk. Selama kurang lebih 20 menit, dia terus berbicara dan saya terus diam. Hingga akhirnya dia menyentuh tangan saya dan memeluk tangan saya. Kata-kata yang keluar dari mulutnya membuat rasa ngantuk saya hilang, malah berubah dengan keterkejutan saat dia berkata, “nita makasih banget yah atas waktunya, makasiiiih banget sekarang aku sudah merasa sangat tenang. Kau sangat membantu sekali. Nanti kalau aku ada masalah aku konsultasi ke kamu lagi ya dan biaya konsultasinya di bon dulu hehehehe.....” seperti itulah kira-kira ucapannya.
Setelah teman kos saya itu keluar, menit pertama, menit kedua, dan beberapa menit kemudian barulah saya tertawa terbahak-bahak sendiri. Entah saya menertawakan diri sendiri ataukah menertawakan dirinya. Yang pasti saat saya terus memberi respon dan feedback padanya, dia tidak merasa masalahnya selesai dan terus-menerus bercerita masalah yang sama berulang-ulang, akan tetapi saat saya lelah, bosan dan menggunakan jurus terakhir DIAM, maka feeling blue-nya berubah seakan semua sudah selesai dan kembali menjadi baik seperti semula.
Dari malam itu saya belajar sesuatu hal, bahwa sebenarnya setiap individu itu memiliki kesadaran akan apa yang terjadi dalam dirinya. Mereka juga sudah cukup dewasa untuk tahu apa yang dapat mereka lakukan. Hanya saja, terkadang mereka butuh didengarkan, dimengerti dan mereka butuh pembelaan dan pembenaran atas apa yang terjadi dalam diri mereka. Atau terkadang, individu itu tidak menyadari potensi diri mereka sehingga mereka perlu distimulasi dengan dukungan sosial yang ada di sekitar mereka untuk mengembangkan potensi itu. Dengan adanya dukungan sosial, seseorang merasa ada orang yang peduli dengan mereka dan mereka merasa bahwa diri mereka masih berarti setidaknya bagi satu orang.
Tengah malam itu, saya menghadapi layar laptop dengan wajah murung. Wajah itu adalah wajah yang biasanya terlihat saat sang empunya laptop merasakan tugas yang saling berkonflik ditambah rasa kantuk yang tak tertahankan. Sesekali saya mencoba membuka facebook yang katanya kadang bisa jadi pelipur lara, tapi entah saya yang terlalu serius menjadi manusia atau memang facebook adalah salah satu situs keluh terbesar di Indonesia sekarang. Makin buruklah mood saya melihat keluhan-keluhan yang tidak pantas dikeluhkan bertaburan di situs itu. Dengan memaksakan untuk fokus, saya kembali untuk menyelesaikan kewajiban seorang mahasiswa itu. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar kos saya. Saat membukanya, sebuah ukiran senyum manis menyambut saya, dan dengan sedikit berbasa-basi dari tamu yang adalah teman saya itu, akhirnya saya mempersilakannya untuk masuk. Karena ada stimulus yang dipersepsi, maka munculah prasangka saya yang menjadi suatu kenyataan bahwa teman kos ini ingin curhat. Dia berkata bahwa seharian ini ia merasa feeling blue akibat ditinggal oleh pacarnya ke sebuah pulau terpencil di mana tidak akan ada sinyal telpon yang bisa masuk. Dan ia harus menunggu pacarnya itu pulang selama satu tahun. Pada mulanya saya tertarik dengan pembicaraannya, sedikit demi sedikit saya memberikan respon dan feedback dari percakapan kami. Tapi lama kelamaan, saya mulai menjadi bosan karena sebenarnya hal ini adalah masalah yang berulang-ulang dia ceritakan dan rasa ngantuk saya mulai menyerang.
Akhirnya satu detik kemudian pikiran saya kosong, namun saya tetap memposisikan mata saya ke wajahnya dan memasang raut wajah yang serius. Padahal saat itu otak kiri saya sedang mencari inspirasi tugas-tugas saya yang masih terkapar di dalam laptop dan otak kanan sedang menahan rasa ngantuk. Selama kurang lebih 20 menit, dia terus berbicara dan saya terus diam. Hingga akhirnya dia menyentuh tangan saya dan memeluk tangan saya. Kata-kata yang keluar dari mulutnya membuat rasa ngantuk saya hilang, malah berubah dengan keterkejutan saat dia berkata, “nita makasih banget yah atas waktunya, makasiiiih banget sekarang aku sudah merasa sangat tenang. Kau sangat membantu sekali. Nanti kalau aku ada masalah aku konsultasi ke kamu lagi ya dan biaya konsultasinya di bon dulu hehehehe.....” seperti itulah kira-kira ucapannya.
Setelah teman kos saya itu keluar, menit pertama, menit kedua, dan beberapa menit kemudian barulah saya tertawa terbahak-bahak sendiri. Entah saya menertawakan diri sendiri ataukah menertawakan dirinya. Yang pasti saat saya terus memberi respon dan feedback padanya, dia tidak merasa masalahnya selesai dan terus-menerus bercerita masalah yang sama berulang-ulang, akan tetapi saat saya lelah, bosan dan menggunakan jurus terakhir DIAM, maka feeling blue-nya berubah seakan semua sudah selesai dan kembali menjadi baik seperti semula.
Dari malam itu saya belajar sesuatu hal, bahwa sebenarnya setiap individu itu memiliki kesadaran akan apa yang terjadi dalam dirinya. Mereka juga sudah cukup dewasa untuk tahu apa yang dapat mereka lakukan. Hanya saja, terkadang mereka butuh didengarkan, dimengerti dan mereka butuh pembelaan dan pembenaran atas apa yang terjadi dalam diri mereka. Atau terkadang, individu itu tidak menyadari potensi diri mereka sehingga mereka perlu distimulasi dengan dukungan sosial yang ada di sekitar mereka untuk mengembangkan potensi itu. Dengan adanya dukungan sosial, seseorang merasa ada orang yang peduli dengan mereka dan mereka merasa bahwa diri mereka masih berarti setidaknya bagi satu orang.
“Diam : seperti kata-kata, di dalam diam juga ada kekuatan, diam bisa dipakai untuk menghukum, mengusir atau membingungkan orang. Tapi lebih dari segalanya, diam juga bisa menunjukkan kecintaan kita pada seorang karena memberinya “ruang”. Terlebih jika sehari-hari kita sudah terbiasa gemar menasehati, mengatur, mengkritik bahkan mengomel” (Anonim)
0 komentar:
Post a Comment