Satu hal yang
saya akui adalah agama ini diberi dan diturunkan dari orang tua. Saya tidak
diminta mencari, mempelajari dan memilih agama. Lagipula, sampai sekarang saya
belum pernah mendengar ada pilihan seperti itu dari orang tua pada anaknya.
Bila pun ada, entah apa tanggapan orang-orang di sekitarnya (dan siapa tahu
pendapat Tuhan sendiri). Yang pernah saya tahu, bila seorang anak tidak
menjalankan ibadah murni dari agamanya, maka orang tuanya dianggap tidak becus
mengajari anaknya di suatu waktu dan tempat. Tanggung jawab agama anak ada pada
orang tua.
Di suatu masa
kehidupan awal, di masa-masa kecil, saya memahami dan mempelajari agama dari
apa yang saya dengar. Dari mereka-meraka (dengan sebutan baik yang bermacam-macam)
sambil saya diajari menulis dan membaca Al-Quran dengan hukum-hukum bacaannya
(mungkinkah bisa saya artikan seperti pelafalan, intonasi, dll, misal apabila
huruf mati ini bertemu dengan huruf itu, maka cara membacanya ditekan,
dipanjangkan, didengungkan, dan lain-lain). Di masa ini sambil mendengar
mengenai konsep islam, dosa-pahala, akhlak baik-buruk, surga-neraka,
Tuhan-Malaikat-Manusia-Setan-Jin, Kisah-kisah para nabi. Saya juga
(diminta.dituntut.disuruh) membaca Al-quran dan menghafal surah-surah pendeknya.
Saya juga diajari salat dan bacaan-bacaaanya. Semua dalam bahasa Arab. Dan saya
tidak dikursuskan bahasa Arab, apalagi bahasa arabnya Al-Quran. Saya dapat
melafalkan Al-quran dengan hukum bacaannya, namun saya tak mengerti apa isi
Al-Quran, apa yang disampaikan Al-quran, dan apa isi bacaan-bacaan salat itu.
Yang saya terima adalah bahwa apa yang saya dengar dari (orang-orang dengan
sebutan baik yang bermacam-macam itu) adalah mutlak dan pasti benar. Proses
seperti ini berjalan hingga saya masuk ke masa (yang saya sebut masa
pemberontakan).
Sewaktu itu,
salah satu orang tua menegur saya dengan bacaan-bacaan dari luar (sudah
diterjemahkan dari bahasa Inggris menjadi Bahasa Indonesia). Saya juga salah
satu murid yang beruntung karena mendapat teman yang pandai dengan teknologi,
sehingga saya mengenal yang namanya komputer dan internet di kota yang mana
masih jarang orang menganggap positif kehadiran internet. Saya jadi maniak
membaca buku-buku yang dilarang oleh salah satu orang tua saya. Dari situlah
proses yang ada di awal kehidupan saya berubah, dari melafalkan Al-Quran setiap
harinya, menjadi hanya membaca terjemahan (arti) ayat-ayat Al-quran itu dalam
Bahasa Indonesianya (waktu itu masih tanpa tafsir). Lama-kelamaan, salah satu
orang tua bertanya kenapa saya tidak pernah terdengar melafalkan Al-Quran lagi.
Saya jawab saya membaca Al-Quran, tapi bukan arabnya melainkan bahasa
Indonesianya. Kitab tebal terjemahan Al-Quran itu katanya dari kakek saya.
Namun dari berbagai sudut, telinga saya terngiang-ngiang bahwa yang saya
lakukan itu tidak tepat, tidak benar, tidak ada pahalanya. Belum lagi, saat
seseorang “berceramah.menceramahi.” saya menjawab dengan pertanyaan “kenapa
seperti itu. Kenapa dosa. Kenapa harus. Kenapa kenapa kenapa.” Dengan begitu saja
saya memperoleh predikat sebagai “pembangkang” atau bahasa yang lebih tersirat
“golongan orang-orang yang sedang tersesat”. Suatu saat pernah saya menjawab
tapi di surah ini mengatakan….”…..” (yang masih belum saya tahu bahwa kandungan
dari ayat-ayat Al-Quran tentang satu hal kemungkinan akan muncul dengan
penambahan makna baru di surah lainnya). Yang saya mengerti tentang isi
Al-quran yang ada bahasa Indonesianya saat itu adalah Kenapa acak dan
meloncat-loncat, dan ternyata Tuhan tidak semengerikan dan hanya
menakuti-nakuti manusia dengan dosa dan neraka yang dibuat-Nya, juga ada kisah
kehidupan (sosial, akhlak, ekonomi) di masa lalu.
Kemudian masuk
ke dalam masa kehidupan selanjutnya. Saya yang masih lemah dan kurang
pengetahuan memahami Al-Quran yang bertumpu pada seluas pengetahuan yang saya
punya dan sendiri. Alhasil, seringkali terjebak (seperti orang-orang) yang
memahami Al-Quran hanya untuk mencari kebenaran atas apa yang ada, terjadi, dan
diinginkan diri sendiri. Membenarkan suatu kondisi dengan menegakkan ayat-ayat
di dalam satu surah, dan membutai diri dengan surah lainnya (atau sudah sangat
bangga mengetahui dan memahami salah satu/ bagian-bagian kecil dari Al-Quran
itu sendiri). Derajat saya naik kelas, dari “pembangkang” menjadi “kafir”. Saya
berada dalam kondisi yang tidak seimbang. Lingkungan menuntut kemutlakan dan
kebenaran yang pasti tanpa harus dipertanyakan (bukan untuk mengkritisi tapi
hanya ingin tahu alasan, itu pun tak memuaskan hati). Sementara rasionalitas
(seluas pengetahuan saat itu), agama menjadi begitu sulit dan rumit diterima.
Melihat ketidakadilan yang terjadi di sekitar mengatasnamakan agama. Kekerasan
dan pelabelan yang mengatasnamakan agama. Dan agama menjadi sangat tidak ramah
dengan orang-orang dari golongan tersesat sepertiku. Tuhan diubah menjadi
simbol, dibuat seperti manusia, dimiliki oleh orang-orang tertentu saja, ada di
tempat tertentu saja, berpihak sebelah. Tuhan yang disampaikan melalui agama
itu menjadi sebegitu jauh, abstrak, dan tak berbelas kasih, bahkan perintahnya
bercampur aduk dengan budaya (di masa di mana Al-Quran ditulis). Masa di mana
imanku bukan iman agama, namun mengandalkan hati nurani dan rasa kemanusiaan.
Aku melakukan ini bukan untuk mendapat pahala dan surga atau menghindari dosa
dan neraka, tapi karena melakukan ini tidak menyakiti orang lain dan hatiku
merasa ini benar. Aku menjadi manusia, tapi golongan pendosa/kafir, kurasa.
Tahap
selanjutnya, di masa berikutnya, Subuh hari menunggu imsak di Bulan Ramadhan.
Hampir semua channel dipenuhi mereka-meraka yang berteriak-teriak dan penuh
percaya diri menyampaikan topik agama, dan satu channel di mana sang pembicara
bertutur bahasa santun tanpa berteriak, bukan menceramahi dan menganggap umat
adalah orang awam yang tak tahu apa-apa. Namun sang pembicara ini adalah
seorang ahli tafsir. Ia membagi ilmu tafsir Al-Quran. Satu surah dibahas selama
satu bulan Ramadhan, ayat per ayat dilafalkan dan diterjemahkan artinya dalam
Bahasa Indonesia, kemudian menyampaikan tafsir, dan kesimpulan. Saat rutin kuikuti,
banyak hal yang kurang pada diriku, yang salah kulakukan, dan bodoh yang tak
berkesudahan. Dalam memahami Al-Quran, seseorang perlu tafsir. Tak semua orang
mampu/boleh melakukan tafsir Al-quran. Ada syarat (terutama pengetahuan agama
yang mendalam), dan tafsir pun dilakukan dengan berbagai pilihan metodologi
tafsir. Bukan tafsir oleh fantasi dan olahan kebenaran sang penceramah. Tafsir
ada banyak dan luas, tentu saja, siapa yang berani memutlakkan suatu pengertian
yang berasal dari Tuhan, kecuali ia merasa berkuasa dan yang membuat Al-Quran
itu sendiri (penyimpangan yang banyak juga terjadi). Namun, perlu juga memilih
tafsir yang mufasirnya berkompeten dan menggunakan metodologi yang jelas dan
dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan moral.
Islam kontekstual
banyak didengungkan oleh orang-orang. Namun islam kontekstual itu bagaimana
diterapkan dalam kehidupan? Berdasarkan apa dan mengapa?
“bila manusia
ingin mengenal Tuhan-nya, bila ingin Tuhan berbicara padanya, bacalah Kitabnya.
Bila ingin berbicara pada Tuhan, berdoalah.”
Salah satu
tafsir dari salah satu ayat.
Banyak hal yang
ujung-ujungnya kembali pada wahyu pertama Tuhan pada Muhammad yaitu
“Iqra”….”bacalah”.
Tak salah
mendengar, namun hanya mendengar saja baru akan melihat satu sisi. Dengan
membaca ada banyak sisi yang muncul.
Agama ini
terberi dari orang tua, memang bukan pilihan. Dan menjadi salah satu identitias
diri. Bukan hanya mencari-cari kelemahannya karena ketidaktahuan. Akan tetapi,
berkenalan dan mempelajarinya, adalah pilihan yang dibuat dan diputuskan oleh
diri sendiri dan lebih bijaksana. Menilai salah dan kurang pada sesuatu yang
tak dikenali dan diketahui bukanlah tindakan bijaksana.
Sewaktu
menuliskan ini, saya belum menjadi manusia benar yang diinginkan oleh tuntutan
Al-Quran he he he. Banyak sekali ibadah murni yang masih diabaikan,
kecerobohan, kekurangan sebagai manusia. Intinya saya masih nakal. Sambil saya
masih nakal, ya saya baca-baca dan mempelajari. Jadi bila saya mendengar, saya
tahu itu ada, dan bila itu belum saya ketahui bisa saya cari dan menambah
pengetahuan lagi. Penting juga supaya saya tidak buta-buta amat dan dibutakan
oleh oknum ha ha ha ha…..~~~~
Ini pengalaman
spiritual. Tak semua orang mengalami hal yang sama. Dan tak menjadi benar di
pengalaman orang lain, walaupun benar adanya di pengalaman saya. LOL
Hampir dua tahun
blog saya tinggalkan. Sudah lama tak menulis uneg-uneg hati. Kebetulan lagi
merayakan malam dengan kopi dan manis-manis.